Sabtu, 27 Februari 2016

Karena Cinta itu Buta (CERPEN)

Benteng begitu tinggi sulit untukku gapai
Aku untuk kamu, kamu untuk aku
Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi meski cinta tak kan bisa pergi
***

Alunan lagu yang dilantunkan oleh Marcell itu memenuhi ruangan pribadiku yang tidak begitu luas. Lagu itu tepat menggambarkan kisah cintaku dengan kekasihku –Cakka--. Seperti yang dikatakan lagu itu “Iman kita yang berbeda”. Ya, aku dengan Cakka memang berbeda keyakinan. Bagiku perbedaan tersebut tidak masalah. Toh, kita saling suka, saling sayang, dan bahkan mungkin saling cinta. Tapi mengapa? Mengapa orang tua kami tidak bisa mengerti itu? Hei! LOVE IS BLIND, right? Bukankah cinta itu buta? Cinta bisa datang kemana dan kesiapapun juga, cinta tak memandang status sosial, tak juga memandang agama. Salahkah aku mencintainya? Heuuh, aku tak mengerti jalan pikiran orang tua jaman sekarang. Hello? Pak, bu taukah kalian sekarang jaman sudah berubah? Ayolah mengerti dengan perasaanku. Aku sayang dia, sangat sayang. Tapi mengapa kalian malah berusaha memisahkan kami? Hmm, ya sudahlah, yang penting aku sayang dia, dia juga sayang kepadaku. Dan kita sudah berjanji akan selalu bersama, kecuali memang Tuhan yang memisahkan kita.
***

                 Aku ingat kejadian 2 hari yang lalu, saat Cakka menghindariku tanpa sebab. Saat itu aku baru saja tiba disekolah, tak sengaja aku bertemu dengannya di gerbang sekolah. Karena aku yang duluan melihat aku juga harus menyapa terlebih dahulu.

“Cakka!” teriakku seraya berjalan mendekati Cakka. Aku sedikit terkejut. Ralat! Lebih tepatnya sangat terkejut. Hei! Pacarnya nyapa kok malah dikacangin? Cakka hanya melirikku sejenak, dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti karenaku.

Aku terdiam, berdiri mematung. Menatap punggung Cakka yang semakin lama, semakin menjauh. ‘Ada apa dengan dia?’ gumamku.

“Cakka! Tunggu!” teriakku lagi setelah sadar Cakka semakin menjauh dari pandanganku. Sepertinya Dewi Fortuna tidak sedang berpihak kepadaku. Cakka terus melanjutkan langkahnya. Tunggu, dia bukan berjalan ke arah kelas kita. Melainkan… Hei? Mengapa Cakka ke kelas IX 2 ? bukannya itu kelasnya Agni –mantan Cakka--. Ada perlu apa dia kesana? Setauku disana dia hanya mengenal Agni. Atau jangan-jangan… ‘Nggak shill, be positive thinking. Cakka nggak ada apa-apa dengan Agni. Yeah, Just friend’ aku mencoba membuang pikiran negatifku tentang Cakka.

Melihat Cakka benar-benar memasuki kelas Agni, aku lebih memilih memutar haluan dan menuju kelasku dengan Cakka. Kelas IX 1.
***

Aku heran dengan Cakka, dihari itu dia benar-benar menghindariku. Entah apa sebabnya. Dan sekarang, sekarang adalah hari ke tiga Cakka membuatku semakin terpuruk karena sikapnya yang terkesan dingin terhadapku. Sudah tiga hari dia tidak pernah menyapaku atau sekedar memberi kabar melalui sms. Aku rindu Cakka yang dulu. Cakka yang selalu memberi seluruh perhatiannya kepadaku. Cakka yang selalu meneleponku setiap malam sebelum tidur dan setiap pagi saat aku baru bangun. Ashilla Zahrantiara rindu Cakka Kawekas Nuraga yang dulu. Sejenak terlintas dipikiranku akan nama Agni. Apa mungkin Cakka berubah karena Agni? Apa Cakka kembali jatuh hati kepada Agni? Oh God, jangan sampai itu benar-benar terjadi. Karena aku menyayangi Cakka. Sangat menyayanginya.

‘drrt, drrtt, drrt, drrt’

Getaran dari ponselku membuyarkan pikiranku tentang Cakka. Aku beranjak dari kasurku dan menuju meja belajar untuk melihat siapakah orang yang mengganggu konsentrasiku.

Aku terlonjak senang melihat nama Cakka tertera dilayar ponselku. Orang yang aku tunggu selama tiga hari akhirnya menghubungiku. Aku segera membuka pesan singkat dari Cakka.

From: Cakka –my love—
Sayang, bisakah hari ini kita bertemu ditaman dekat rumahmu? Aku tunggu kamu sekarang. Aku ingin membicarakan suatu hal yang penting.

Taman? Penting? Kata-kata itu terus berputar diotakku. Kira-kira Cakka akan membicarakan apa? Sepenting itukah sampai-sampai harus sekarang? Tak buang banyak waktu aku segera membalas pesan singkat dari Cakka itu.

To: Cakka –my love—
Of course! I will coming soon, darling :) see you, there.

Setelah membalas pesan dari cakka, aku langsung meninggalkan rumah dan berlari menuju taman yang letaknya tak jauh dari rumahku.
***

“Shilla!” hmm, suara itu. Ya itu suara Cakka. Suara yang selama tiga hari ini aku tunggu-tunggu, akhirnya menyebut namaku. Cakka, uh you make me crazy!

“Eh, iya?” aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku. Dan yeah he’s cakka!  Aaa, CAKKA! Tunggu! Aku harus bersikap biasa. Tarik nafas, tahan, keluarkan. Yeah, biasa.

“Kenapa Kka?” terlihat cakka berjalan mendekatiku.

“Duduk yuk disana” ajak Cakka sambil menggenggam erat jemari tanganku. Hangat.

Setelah kami menempati salah satu bangku taman tersebut, hanya keheningan yang tercipta. Entah mengapa Cakka menjadi pendiam, dan aku, mulutku serasa terkunci, sulit rasanya untuk mengeluarkan sepatah kata. 5 menit kemudian Cakka akhirnya membuka pembicaraan.

“Seandainya kita harus pisah gimana?” suara itu terdengar parau, apakah Cakka menangis? Oh tidak, aku tak pernah melihat dia menangis sebelumnya. Tapi, apa? Dia mengatakan kata pisah? Apakah aku salah menangkap perkataannya. Ya aku pasti salah.

Pardon me, please!”

“Shilla, ortu kita nggak setuju dengan hubungan kita.”

“Kamu bohong kan Kka? Ortu kamu terlihat biasa-biasa saja saat tahu hubungan kita tapi kenapa sekarang jadi kayak gini sih Kka? Tadi kamu bilang orang tua kita kan? Bukannya ortu aku nggak tahu kalau kita pacaran?”

“Sayang, orang tua aku udah tahu kalau kita beda keyakinan. Dan orang tua kamu, hmm, mereka mengetahuinya melalui orang tuaku. Jadi…”

“Cakka, jangan bilang kamu tidak ingin mempertahankan hubungan kita”

Apa salaku
Kau buat begini
Kau tarik ulur hatiku
Hingga sakit yang kurasa
(D’Massiv-Apa salahku)

                “Bukan begitu Shilla sayang, aku sayang kamu, sangat menyayangimu. Tapi jika orang tua kita tidak menyetujui hubungan kita bagaimana? Aku tak bisa berbuat apa-apa sayang.” Jelas Cakka, yang berhasil membuat butiran-butiran bening mengalir deras di setiap lekuk wajahku seakan berlomba-lomba untuk jatuh kebawah. Aku tak menyangka Cakka akan menyerah, sangat tak menyangka.
                “Tapi Kka, kita masih bisa berusaha kan? Bukannya Tuhan akan memudahkan jalan bagi orang yang mau berusaha dan sabar?” Jawabku disela tangisanku. Aku merasakan tangan kokoh Cakka merangkulku dan membawaku ke dalam dekapannya.
                “Shilla, please, jangan pernah nangis dihadapanku. Aku sayang sama kamu Shilla, tapi orang tua kita tidak menyetujui hubungan kita. Aku sudah berusaha keras untuk mempertahankan hubungan kita saat itu, tapi mereka masih kekeh dengan keputusan mereka.”

“Tapi saat itu kamu sendiri kan Kka? Sekarang ayo kita berjuang bersama-sama! Aku yakin kita pasti bi…”

“Shilla! STOP!” Cakka membentakku? Tapi kenapa? Apa dia memang tidak mau mempertahankan hubungan kami?

“Maaf, tapi jika kita terus melawan keputusan orang tuaku, lebih tepatnya orang tua kita. Aku akan dijodohkan dengan Agni. Aku nggak mau, Shil, nggak mau! Aku lebih memilih pelan-pelan melupakanmu dan berusaha mencari kekasih yang benar-benar aku cintai, seperti aku mencintaimu.” Aku merasakan butiran bening jatuh di ubun-ubun kepalaku. Hei Cakka benar-benar menangis? Aku mendongakkan kepalaku menghadap ke Cakka.

“Cakka, kamu menangis? Oke maafkan aku, aku tidak akan memaksa lagi. Jadi sekarang kita putus?! Itu kan yang kamu mau?” heeuh, aku berusaha tegar dengan tersenyum dibalik kepedihan dan kerapuhanku.

“Itu bukan mauku Shilla sayang, tapi mau orang tua kita” ah, dia masih saja memanggilku dengan sebutan sayang. Tapi sayang hubungan kami harus berakhir seperti ini.

“Jangan memanggil aku sayang lagi Cakka, hubungan kita telah berakhir” air mata itu lagi lagi mengalir. Air mata bisakah kamu berhenti sejenak saja?

“Maaf, telah membuatmu menangis. Aku akan selalu menyayangimu, selamanya”

“Aku juga akan selalu menyayangimu. Semoga kamu mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku nantinya” ucapku sedikit tak rela.

“Tidak akan pernah ada yang lebih baik melebihi kamu Shilla. Because you’re the best for me.” Disaat-saat seperti dia masih saja menyanjungku. Dasar Cakka!

“Haha, thank’s. Aku pamit yah.” Aku segera berlari, berlari entah kemana. Aku tak menyangka Cakka akan memilih keputusan seperti ini.
***

Setelah kejadian itu aku tidak pernah berkomunikasi dengan Cakka lagi. Dia juga terkesan menghindar dariku. Dan sekarang aku sudah mendapatkan pengganti Cakka, namanya Alvin. Jujur Alvin tidak sama seperti Cakka, Alvin sangat cuek. Dia sering membuatku makan hati. Aku rindu Cakka.

Tepat dua minggu yang lalu adalah hari dimana hari kelulusan anak kelas 9 diseluruh Indonesia dan hari dimana Alvin berpamitan denganku karena dia akan pindah ke Amrik untuk melanjutkan SMAnya disana.

‘drrt drrt drrt drrt’ (suara ponsel)

Getaran ponselku mengagetkanku. Aku meraih ponsel yang aku letakkan di sebelahku. Hmm, Alvin. Ya Alvin mengirimkan pesan singkat untukku.

From: Alvin JS
Ashillaku :* Apa kabar sayang? Maaf ya 2 hari ini aku nggak pernah ngasi kabar, habisnya sibuk banget. Hmm, ciee yang besok ulang tahun. Rayain bareng yuk? Besok aku balik ke Indonesia hanya untuk ngerayain ulang tahun kita berdua. Kamu mau kan?

Tumben Alvin sms panjang lebar gini. Balas aja deh,

To: Alvin JS
Tumben? Haha, beneran mau ke Indo cuma buat ngerayain ulang tahun kita berdua? Yaudahsih terserah kamu aja. Aku sih senang-senang aja :)

From: Alvin JS
Hehe, aku baru sadar kalau selama ini aku terlalu jutek sama kamu. Maaf ya :) iyalah bener. Besok jemput aku yaa di Bandara jam 12 siang :)see you there sayang :*

To: Alvin JS
Siip sayang :) see you :*
***

Hari ini adalah ulang tahunku dan ulang tahun Alvin. Ya kita berdua lahir pada hari yang sama tetapi berbeda waktu. Dan hari ini aku akan menjemput Alvin. Sambil menunggu waktu menunjukkan pukul 12 aku memutuskan untuk bermain ponsel. Aku membaca kembali pesan masuk dari Alvin kemarin, tiba-tiba saja ada panggilan masuk dari Cakka. Terkejut. Yah itulah reaksiku melihat nama yang tertera di layar ponselku. Ada sedikit keraguan untuk mengangkat telepon dari Cakka. Tapi akhirnya aku memilih untuk menjawab telepon dari Cakka.

“Iya halo… Ada apa Kka?... Kenapa sih kayaknya kamu takut banget ngasi tau ke aku?... Iya aku nggak bakal nangis, ada apa sih?... APA? Kamu nggak bohong kan Kka?... Nggak, nggak mungkin. Nggak mungkin. Please jangan bohongin aku!... Stop Kka! Alvin nggak mungkin meninggal! Pesawatnya nggak mungkin jatuh… Cakka! aku nggak mau kehilangan orang yang aku sayang untuk ke dua kalinya… Terserah kamu bilang apa, yang jelas nanti jam 12 aku mau jemput Alvin ke bandara. Aku mau buktiin ke kamu Alvin masih hidup… Oke aku tunggu kamu jam 11 dirumahku. Kita langsung berangkat. Jika kamu telat aku akan berangkat sendiri.” setelah menerima telepon dari Cakka air mataku tak henti-hentinya mengalir, Alvin masih hidup! Ya Alvin tak mungkin meninggal karena dia sudah berjanji akan merayakan ulang tahun kami bersama-sama. Cakka pasti membohongiku. Ya Cakka bohong. Bohong.

11.00. Cakka berjanji untuk mengantarku ke bandara untuk memastikan bagaimana keadaan Alvin sebenarnya. Dan sepertinya Cakka kali ini tepat waktu. Cakka memang tak pernah mengingkari janjinya. Yah aku ingat itu. Setelah Cakka tiba aku langsung memasuki mobil Cakka.

“Berangkat sekarang?” tanyanya setelah aku duduk manis disebelahnya, terdengar nada canggung dari ucapan Cakka. Bagaimana tidak, selama 6 bulan kami sama sekali tidak pernah berkomunikasi.

“Iyalah Kka. Cepetan aku udah kangen sama Alvin, aku nggak mau buat dia nunggu lama”

“Sebesar itukah rasa sayangmu terhadap Alvin? Sampai-sampai kamu nggak mau dia menunggu lama.”

“Mungkin” setelah mendengar jawaban singkat dariku Cakka langsung mengemudikan mobilnya menuju bandara. Setengah perjalanan hanya diisi oleh kebisuan dari kami. Tak ada yang ingin membuka pembicaraan. Aku yang sudah tak sanggup dengan keadaan seperti ini terpaksa membuka suara.

“Masih ingat saat 6 bulan yang lalu kamu memutuskan hubungan kita?”

“Jangan bahas itu lagi” sepertinya Cakka menghindar dari masa lalu.

“Kamu tahu? Seminggu aku gak nafsu makan sampai…”

“STOP Shill! Berhenti buat aku merasa bersalah. Ya aku tahu, aku tahu. Setelah itu kamu nggak makan selama seminggu, kalaupun makan paling hanya sesuap atau tiga suap saat akan minum obat. Kamu jatuh sakit kan shill? Sampai-sampai kamu dirawat inap selama hampir 1 bulan di rumah sakit. Kamu pikir aku nggak tahu? Aku bahkan setiap hari menjengukmu.” Jelas Cakka panjang lebar.

“Kamu bohong kan Kka? Aku nggak pernah lihat kamu kok”

“Karena aku selalu datang saat semua yang menunggumu termasuk kamu sudah terlelap. Aku tahu kok kamu kenal sama Alvin di rumah sakit kan? Saat kamu berjalan-jalan di taman Alvin nggak sengaja mendorongmu, sehingga kamu terjatuh. Dan dia mengantarmu kembali ke kamar, dan semenjak itu kamu mulai dekat dengannya. Benarkan?” Cakka mengetahui semuanya? Aku sungguh tak percaya.

“Cakka. kamu…”

“Kenapa? Kamu heran? Haha, itu semua aku lakukan karena aku sayang kamu. Sampai saat ini aku masih menyayangimu” ‘DEG’ Cakka masih menyayangiku? Aku hanya terdiam menanggapi pernyataan Cakka tadi.

 Mungkin Cakka merasa bosan ia malah bernyanyi. Sepertinya itu lagu ungu, judulnya, hmm, cinta dalam hati kalau tidak salah.

Mungkin ini memang jalan takdirku,
Mengagumi tanpa dicintai.
Tak mengapa bagiku
Bersamamu pun bahagia dalam hidupku, dalam hidupku.
Telah lama ku pendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku
Mencintaimu adalah bahagia untukku, bahagia untukku.
Ku ingin kau tahu diriku disini menanti dirimu
Meski ku tunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini  kan abadi untuk selamanya
Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
Tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja
(ungu-cinta dalam hati)

                Selang beberapa menit setelah Cakka bernyanyi, akhirnya kami sampai di bandara tepat pukul 12. Aku tak sabar untuk bertemu Alvin. Aku menunggunya di tempat kita janjian kemarin. 15 menit berlalu belum ada tanda-tanda pesawat Alvin tiba. 30 menit.. aku mulai berpikir yang dikatakan Cakka benar. Tapi, ahh aku harus yakin Alvin masih hidup. 45 menit berlalu. Alvin masih saja belum muncul.

                “Shill, aku kan sudah bilang kalau Al…” Cakka lagi-lagi membuat aku down. Semangatin kek.
                “Cukup Kka! Alvin masih hidup!” Aku masih kekeh dengan pendapatku bahwa Alvin masih hidup. Tapi Cakka sepertinya marah karena aku terus menunggu Alvin yang –menurutnya—tidak akan pernah muncul dihadapan kami. Sampai kapanpun itu.
                “Oke terserah kamu. Mungkin aku disini udah nggak berarti apa-apa bagimu. Tapi aku mau kamu tahu. Aku nggak mau buat kamu rapuh lagi. Buat kamu sakit karena berjuang sendiri untuk melupakan orang yang kamu sayang. Aku ngelakuin ini karena aku peduli sama kamu. Karena hmm, aku sayang sama kamu. Sekarang terserah! Terserah kamu mau ngapain. Kalau kamu nggak mau ikut aku, ini akan jadi hari terakhir kamu melihat aku. Aku akan hitung sampai tiga. Kalau kamu tetap diam, aku akan pergi. Aku mulai… Sa…tu..” ‘DEG’ nggak, aku nggak mau kehilangan Cakka untuk kedua kalinya. Karena jujur, jujur aku masih sangat menyayanginya.
                “Du…a” Cakka masih saja menghitung dan itu membuat aku semakin bingung. Tetap diam atau ikut Cakka?
                “Ti…ga… oke ini pilihanmu. Aku yang akan pergi Shill”

Aku yang akan pergi
Bila kau enggan memilih
Cintaku ini bukan seperti tempat persinggahanmu.
(Supernova-Aku yang akan pergi)

 “Cakka! Tunggu!” Ucapku akhirnya

“Jujur aku juga masih menyayangimu. Tapi rasa itu tak seutuh yang dulu. 30% dari hatiku sudah direbut Alvin. Dan 70% lagi masih menjadi milikmu.” Ups! Aku terlalu jujur sepertinya. Cakka berbalik dan berjalan mendekatiku.

Are you sure, Shill?”

“Yes, I’m. I really Love You, Cakka!” Ucapku lantang. Yeah akhirnya aku baru menyadari bahwa Cakka-lah pilihan hatiku. Aku mencintainya. Bukan Alvin. Alvin, terima kasih kamu sudah pernah masuk kedalam hatiku dan mengisi sedikit hatiku. Tapi ternyata disini masih ada Cakka. Jadi maaf, aku lebih memilih Cakka daripada kamu.

I Love You too. Ashilla.” Balas Cakka seraya membawaku kedalam dekapannya.

“Jadi kita balikan nih?” Tanyaku ke Cakka.

“Woyya dong” jawabnya dengan mengedipkan sebelah matanya. haha, dasar Cakka.

“trus orang tua kita?” ya perasaan takut itu kembali menghantuiku. Takut jikalau nanti orang tua kami kembali berusaha memisahkan kami.

“Apa pun yang terjadi kita akan selalu bersama. Aku berjanji. Masalah orang tua, kita hadapi bersama dengan kekuatan cinta sejati yang kita miliki. Aku yakin cinta akan mengalahkan segalanya. Karena cinta kita tulus tanpa paksaan” Cakka berubah menjadi dewasa. Aku suka kata-katanya tadi. Karena cinta kita tulus. Yah dia benar cintaku kepadanya tulus, sangat tulus dan begitu juga sebaliknya. Jadi apa yang harus kami takutkan? Aku dan Cakka akan berjuang bersama-sama demi menjaga hubungan kita.

“Aku pegang janjimu, Cakka” Cakka hanya membalas dengan senyuman dan kembali merangkulku.

“kita pulang sekarang?”

“yaps.”

Kami berdua pun meninggalkan bandara dengan senyuman. Senyuman kebahagiaan.
***

Karena cinta itu buta. Cinta bisa datang kemana dan kesiapapun juga, cinta tak memandang status sosial, tak juga memandang agama. Ya cinta itu sendiri tidak memandang apapun karena kita gak akan pernah bisa milih kepada siapa kita akan jatuh cinta, tetapi jika kita memang tahu pada akhirnya tidak bisa bersatu karena perbedaan sebaiknya cinta itu kita tahan jangan dibiarkan berkembang. Sakit memang tapi jika kita biarkan terus berkembang hanya untuk kebahagiaan sementara maka setelah cinta itu tumbuh dengan sangat subur itu akan lebih menyakitkan ketika perpisahan yang kita dapatkan. Tetapi sebenarnya itu kembali pada diri kita sendiri apakah akan berusaha melebur perbedaan tersebut atau memilih pergi karena memang benteng perbedaan tersebut begitu sulit untuk digapai.

--END--

*Karya: Dewa Ayu Dian Regina Permata
*Selesai pada tanggal 18 Agustus 2011, pukul 00.37 WITA.
----
Sebenarnya cerita ini udah aku publish lama di FB, tapi baru kepikiran untuk post di blog. P.s.:ini ada sekuelnya lho:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar